Senin, 15 Februari 2010

Words for Lana

Words For Lana

My little princess was born
17 of March 2008
Though I wanted her a boy
But she brings my life so much joy
God believes in me to give her love
So I will fill her time with jokes and laughs

Day by day my baby grows
A smile on her face is as pretty as the rainbow
That makes my whole life colourful from now on

Senin, 08 Februari 2010

Brownie

Brownie

Green Steva

Ini kisahku. Ini kisah adikku. Kami dua bersaudara yang tinggal dengan ayah dan ibu di pondok kecil di ujung desa. Green Steva adalah desa kecil yang ramah dan damai. Tempat lahir ibu dan ayahku, juga kami. Bertegur sapa dengan para tetangga tiap hari adalah hal yang lumrah. Bermain di pekarangan rumah, berlari di jalan bertanah, mengejar ayam Mr. Gallen atau pun mengintip Hutan Rhyre di belakang desa. Hutan itu terlarang. Ada kekuatan jahat kabarnya.
“Benarkah itu?” tanya Ownie di suatu senja yang dingin.
Aku menimpalinya dengan bersemangat, “Ya … ya … tentu saja. Penghuni hutan itu akan mengikatmu dan menyeretmu terus ke jantung hutan.”
Ownie ketakutan. Wajahnya pucat, tapi ibu langsung mengusap punggungnya. “Hanya dalam mimpi Braun saja,” jawab ibu dengan tenangnya.
Sebenarnya Rhyre tidak tampak menyeramkan. Bahkan, menurutku mengagumkan. Pernah suatu ketika, aku dan teman-teman berlari terlalu jauh ke hutan. Pohon-pohonnya menjulang tinggi membentuk payung yang teduh. Berkas-berkas sinar matahari berebut masuk menembus dedaunan ke dasar hutan. Jamur, bunga liar, semak, dan rumput bertebaran tak beraturan. Tapi, justru itu yang membuatnya sempurna. Tak terjamah. Aku takjub dan hampir meneruskan langkahku jauh lebih dalam ke sana. Rhyre serasa memanggilku. Namun, tangan Doran mencekal lenganku dan membangunkanku. Kami pun pulang, tapi aku sempat menoleh sekali lagi ke dalam Rhyre dan sekelebat bayangan menggangu pikiranku.

Lumbung Mr. Xinka

Musim panen tahun ini telah tiba. Penduduk desa bersuka cita memanen jagung, gandum, dan hasil ladang lainnya. Ayah pun ikut senang. Tapal kuda dan roda gerobak menjadi sumber pendapatannya. Kuda yang bolak-balik ladang dan lumbung harus berganti sepatu agar tetap nyaman. Gerobak yang kelebihan beban seringkali rusak dan tentu saja diperbaiki ayahku. Kadang akupun ikut membantu ayah. Sebenarnya bukan membantu, tapi menemaninya saja karena pekerjaan beratnya terlalu berbahaya untukku.
“Hari ini kita kemana ‘Yah?” tanyaku antusias.
“Lumbung Mr. Xinka.”
“Whuahh … pasti akan menyenangkan. Mr. Xinka punya kuda-kuda yang hebat. Bisa tidak ya aku punya yang seperti itu, “ kataku lagi.
“Berdoa saja!” jawab ayah tenang.
Ayah selalu seperti itu. Tidak banyak bicara tapi tegas. Kadang humoris juga. Kata ibu dulu ayah tidak seperti itu. Setelah Ownie lahir, berubahlah ia.
Pukul delapan pagi kami berangkat. Ownie merengek ingin ikut. Ibu melarangnya. Aku senang. Bukan berarti aku tidak sayang Ownie, tapi kadang aku ingin sebentar saja terlepas dari adik manjaku. Usia kami hanya terpaut tiga tahun, tapi ownie selalu membuntutiku kemana pun aku pergi.
Ayah dan aku menyusuri jalan berbatu. Berbelok ke arah utara setelah melewati lima rumah dan sebuah taman bunga. Ibu merawat bunga-bunga itu. Setelahnya kami harus melewati ladang gandum Mr. Odie. Cukup luas dan subur. Tuan tanah yang baik hati. Kadang aku dan teman-teman mendapatkan penganan gratis darinya. Di ujung ladang terdapat tiga pondok kecil seperti pondokku. Terlihatlah lumbung Mr. Xinka. Di depan lumbung berlarian dua ekor kuda hitam dan seekor putih. Mereka terlihat cantik. Dikelilingi pagar kayu, mereka tidak bisa keluar lahan itu. Di depan pintu lumbung teronggok sebuah gerobak kereta dan pria tua berjongkok di bawah roda kanannya.
“Pagi Mr. Xinka!” sapaku ceria.
“Ah … Braunie. Pagi ‘Nak! Mr. Aran!” Mr. Xinka berdiri sambil mengangkat topi jeraminya.
“Lalu, apanya yang rusak?” tanya ayah.
“Salah satu poros rodanya patah. Mungkin aku terlalu bersemangat mengangkut jagung kemarin.”
Aku memandang berkeliling lumbung, mencari sesuatu yang menarik untuk dijelajahi.
“Lihat itu! Jagungnya masih berserakan di pintu masuk.”
“Oh … ya. Sedikit merepotkan sepertinya,” kata ayah.
“Dua orang pegawaiku tidak masuk. Akan sangat melelahkan.”
Aku melirik Mr. Xinka. “Kalau saja aku bisa membereskan semuanya dalam jentikan jari,” lanjut Mr. Xinka.
“Sepertinya hanya dalam dongeng saja,” jawab ayah sambil melihat kerusakan gerobak.
“Ya … ya … ya… dongeng anak kecil. Jadi, berapa lama?”
“Nanti siang.”
“Baiklah. Aku akan memeriksa ladang. Jika lelah atau butuh sesuatu panggil saja Maureen.”
Mr. Xinka mengambil kuda hitamnya lalu memasang pelana. Dalam beberapa menit saja dia sudah menghilang dari pandangan.
Aku melihat ke arah rumah. Besar dengan beranda kayu. Sekilas aku melihat bayangan manusia di balik jendela. Itu pasti Maureen. Apakah dia mau bermain denganku.
“Ayah, Maureen siapa?” tanyaku penasaran.
“Keponakan jauh Mr. Xinka.”
“Baikkah dia?”
“Mungkin. Kau bisa berkeliling lahan jika kau mau. Pada saat makan siang kita akan pulang,” jawabnya sambil mengeluarkan palu dari kotak peralatannya.
Ayah sepertinya ingin langsung berkonsentrasi pada pekerjaannya. Aku pun tak mau mengganggunya. Aku mendongak ke dalam lumbung. Memang banyak jagung bertumpuk tak beraturan. Bukan hal menarik untuk dilihat lagi. Aku bergerak ke samping lumbung. Rhyre mulai terlihat. Rhyre memang mengelilingi setengah desa. Aku lalu mulai melangkah mendekatinya.
Kemari! Menarilah bersamaku!
Suara itu. Anginkah? Tapi begitu nyata. Aku melangkah semakin dekat.
Braun. Menarilah denganku!
Benar, itu sebuah suara. Seperti nyanyian yang mengalun lembut. Dan … dan itu memanggilku. Memanggil namaku. Udara berhembus hangat. Rhyre seperti bercahaya. Cahaya tetesan air yang tertimpa sinar mentari. Ketika aku hampir masuk ke perbatasan Rhyre, ada suara lain memanggilku.
“Braun … kemari!”
Mungkinkah suara itu mengenalku.
“Cepatlah!”
Aku merasa melayang. Kakiku melangkah tanpa kusadari.
Menari bersamaku! Mendekatlah!
“Braun …!”
Seseorang berteriak dari alam bawah sadarku, tetapi aku lebih suka nyanyian itu. Suara merdu bagai nyanyian ninabobo yang biasa ibu nyanyikan sebelum tidur ketika aku masih sangat kecil. Menenangkan dan membuatku mengantuk. Aku ingin dipeluknya. Aku ingin dia membelai rambutku. Aku ingin …
“Braun! Bangun! Bangun!”
Seseorang mengguncang tubuhku. Nyanyian itu menjauh.
“Jangan! Jangan pergi!’ aku berteriak.
“Braun! Sadarlah ‘Nak!”
“Kembali!” Aku berteriak sekuat tenagaku untuk mencegahnya pergi. Sebutir air mata bergulir di pipiku.
“Braun, bangun! Ini ayah.”
Ayah sudah berlutut di depanku, mencekal erat kedua lenganku.
“Jangan lakukan lagi!” nadanya keras. Dia marah dan menatap tajam mataku.
“Maaf ayah, aku tak bermaksud …” isakku.
Ayah mendekapku, sangat erat. Pelukan yang jarang ia lakukan lagi.
“Ayo kita pulang!” ajak ayah.
“Tapi bagaimana gerobaknya?”
“Jangan dipikirkan. Aku akan kembali besok.”
Kami berdua lalu pulang. Aku sendiri tak tahu apa yang sudah terjadi. Hanya perasaan gembira yang tiba-tiba menguap dan terasa hampa dalam diriku saat ini.

Hutan Rhyre

Terdapat sebuah bangunan seperti piramid kecil di sana. Tiga undakan besar dan sebuah batu besar datar di puncaknya. Seperti sebuah tempat persembahan. Di bawah piramid, sebelah kanan, terdapat ruang bawah tanah. Atapnya terbuka sehingga anak tangga teratas dapat dilihat. Di sebrang piramid ada sebuah gubuk, beratap daun yang tersusun rapi. Dinding kayunya hanya mengelilingi tiga perempat gubuk itu. Depan gubuk dibiarkan terbuka. Di bawah gubuk terdapat kolam jernih langsung berhubungan dengan anak sungai di kirinya. Gemericik air terjun kecil di kanan menambah suasana damai tempat itu.

Namun, ada sesuatu yang janggal dari tempat itu. Dua makhluk yang duduk di depan perapian. Tidak serasi dengan keadaan tempt yang indah itu karena tampang mereka. Kecil, gemuk, bertelinga runcing dan kaki-kakinya yang berbulu.

“Aku bosan di sini,” makhluk itu berkata.

Yang satunya menimpali, “Sudah tugas kita Hodekin.”

“Sudah 13 tahun.”

“Aku tahu itu. Kau menggerutu pun tak ada gunanya.”

“Tapi berapa lama lagi, Kolin?” Tanya makhluk yang bernama Hodekin itu.

“Selama Yang Mulia Menghendaki.”

Hodekin memasukkan sebatang kayu untuk menjaga api tetap menghangatkan mereka.

“Bodoh benar Yallery ini.”

“Pangeran Yallery,” Kolin meralatnya.

“Ya, apa pun itu. Dunia peri dan manusia tak bisa bersatu tapi dia tetap memaksa. Yang Mulia yang hebat untungnya tidak membunuhnya. Untung dia anaknya.”

“Pangeran berubah karena manusia. Karena cinta,” tambah Kolin.

“Hal bodoh yang tak pantas ditiru,” timpal Hodekin.

Kolin merebahkan dirinya ke tanah bertumpu dengan kedua tangannya. Dia menatap bulan di atas sana.

“Di mana Pixi?” tanya Kolin.

“Aku tak tahu dan tidak mau tahu. Di bulan punama ini, dia mungkin sedang menari dan mencari korban,” jawab Hodekin ketus.

Tiba-tiba Hodekin berdiri dan memegang kayu gada yang terletak di sisinya.

“Sstt… Aku mendengar sesuatu,” kata Hodekin.

Kolin pun berdiri. Daun bergesekan. Ranting kering patah. Suara itu semakin mendekat. Hodekin menguap. Matanya sayu. Hodekin tersenyum.

“Hentikan Pixi!” teriak Kolin.

“Keluarlah atau aku akan memukulmu!”

Lalu sesosok peri mungil, agak tinggi muncul. Dia berbaju hijau yang melambai-lambai. Ketika dia muncul, seluruh sisi tubuhnya bersinar.

“Tenanglah Kolin! Aku hanya ingin membuat Hodekin bahagia. Dia selalu menggerutu akhir-akhir ini.”

“Ternyata kau, peri berbaju konyol,” teriak Hodekin. “Mau apa kau kemari?”

“Hii… hii.. hii.. tentu saja aku rindu padamu, Hodekin,” jawab Pixi genit. Dia berputar-putar di sekeliling Hodekin dengan gemulainya seperti penari.

“Waktumu hanya sebentar, seperti biasa,” seru Kolin.

“baiklah Si Tua Kolin. Dasar! Tidak humoris,” lanjut Pixi sambil meninggalkan kedua kobold itu.

Pixi melangkah ke ruang bawah tanah. Di pintu masuk terdapat tulisan

FORBIDDEN FOR THE UNFORESEEN

“Pangeran, aku datang.”

Pixi menuruni tangga. Hanya beberapa anak tangga saja lalu dia berbelok kea rah kiri. Dari situ dia melangkah lurus. Setelah beberapa menit, dia tiba di sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Di sana hanya ada sebuah batu besar yang tertimpa sinar rembulan sehingga batu itu saja yang bercahaya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Pixi.

Tak ada jawaban tapi Pixi melanjutkan pertanyaannya.

“Kau tetap hangat kan di sana?”

Suasana tetap sunyi.

“Aku bertemu dengannya. Dia seperti dirimu. Dia yang membuat kau seperti ini.”

Pixi mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sekuntum mawar putih. Dia meletakkan mawar itu di sebelah batu besar. Terlihat beberapa kelopak mawar putih yang sudah mulai layu dan berubah menjadi kecoklatan betebaran di sekitar batu besar.

“Mawar lain yang telah kumantrai. Sedikit akan membuatmu lebih nyaman dan bahagia. Aku harus pergi sekarang. Kedua kobold itu tidak suka aku berlama-lama di sini. Tentu saja aku akan tetap setia menunggumu, Pangeran.”

Cerita Maureen

Sejak peristiwa di rumah Mr. Xinka, ayah tidak pernah kembali lagi ke sana, tidak juga untuk meneruskan pekerjaannya memperbaiki gerobak. Bukannya ayah tidak bertanggung jawab. Namun, di suatu pagi setelah hari itu, Maureen muncul di depan pintu pondok kami dan menyerahkan upah perbaikan gerobak. “Mr. Xinka menitipkan ini dan ucapan terima kasihnya atas gerobak yang sudah baik kembali.” Gerobaknya sudah berfungsi lagi. Ayah keheranan karena dia merasa belum menyelesaikan pekerjaannya. Sebelum Maureen pergi, dia sempat melongok ke dalam dan menangkapku sedang mencuri dengar dari balik lemari perabotan. “Hai… Braun!!” sapanya sambil melambai ke arahku. Aku kebingungan dan dengan canggung membalas sapaanya. Dia pun pulang dengan dibekali pai labu manis buatan ibu.

Hari ini Sabtu. Tugasku dan Ownie belanja kebutuhan harian untuk minggu depan. Ibu memang sudah percaya padaku tentang urusan ini. Pagi hari kami berangkat ke pasar. Bukan pasar besar sebenarnya, hanya deretan penduduk lokal dan beberapa dari luar desa yang berjajar di dekat gerbang desa. Sesampainya di sana, aku menambatkan gerobak kudaku di pohon dekat rumah Ms. Arwin.

“Hai… Ms. Arwin,” sapa Ownie. Dia melirik kami sebentar sambil tersenyum. “Hai, sayang!” lalu dia menyapu halamannya kembali.

“ Kenapa tiang rumahmu?” tanyaku.

“Ya… kemarin sore ada kuda terlepas, masuk ke halamanku dan melakukan ini dengan kaki belakangnya.”

“Kau akan memperbaikinya sendiri?” tanyaku lagi.

“Tentu saja tidak. Qondor akan melakukannya, tapi besok. Dia sibuk sekarang. Seandainya saja masalah ini bisa beres sekarang.”

Ownie menarik-narik lengan bajuku. Dia tak sabar berkeliling tentunya.

“Baiklah, kami harus pergi sekarang. Sampai jumpa Ms. Arwin.”

“Dah sayang. Salam untuk ibumu.”

Kami membeli gandum, gula pasir dan telur di kios Mr. Gawn. Doran membantu ayahnya berjualan hari itu. Ownie cukup baik hari ini. Dia menolongku membawakan kentang dan wortel. Lalu, kulihat dia, Maureen, sedang membayar kayu manis di kios Ms. Evelyn. Aku menghampirinya. Ownie bertemu teman-temannya. Dia ingin bermain dulu. Aku mengizinkannya setelah dia menyimpan belanjaan di gerobak terlebih dahulu.

“Hai!” sapaku canggung.

“Peri yang memperbaiki gerobak pamanku,” katanya.

“Peri? Bagaimana mungkin? Kau percaya?” tanyaku terburu-buru.

“Ketika orang berharap terjadi keajaiban, itulah yang terjadi. Tapi ada juga yang kejam, membantu dengan imbalan jiwa manusia.”

“Darimana kau tahu semua ini?”

“Semua orang tahu, dari cerita sebelum tidur mereka,” lanjutnya.

“Jadi, maksudmu itu dongeng?” tanyaku penasaran.

“Dulu ada petani yang membebaskan seorang peri. Sang peri memberikan semua keinginan si petani, asalkan dia tidak dibalas dengan terima kasih. Tapi, pekerjaan peri itu tak pernah beres karena sebenarnya dia dari kaum yang kejam. Tak tahan, petani pun berterima kasih kepada si peri untuk mengusirnya. Sang peri menghilang, tapi bersama putrid petani. Petani itu sangat sedih sampai membawa penyesalannya sampai dia mati.”

Maureen bercerita dengan santai, seolah-olah dia bercerita kepada anak usia 5 tahun.

“Pertanyaanmu. Aku percaya,” lanjutnya.

Ownie kembali dari bermainnya sehingga aku tak bisa melanjutkan rasa penasaranku terhadap ceritanya.

“Braun, bisakah aku membeli burung kayu itu?” tanya Ownie sambil memasang tampang memelas.

“Aku tak punya uang.”

Maureen tiba-tiba mengambil satu burung kayu lalu memberikannya pada Ownie.

“Terima kasih,” Ownie melonjak kegirangan.

Maureen pergi tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Semua keperluan kami sudah terbeli. Aku pun memacu gerobak kuda pulang. Di perjalanan, aku teringat cerita Maureen dan bertanya-tanya apakah ceritanya benar dan kenapa juga aku tak pernah mendengar ibu bercerita tentang peri, meskipun dalam dongeng sebelum menidurkan kami.